UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2009
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI
DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk
mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan;
b. bahwa
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah
dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara;
c. bahwa
pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah
yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah;
d. bahwa
dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah,
perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian
diskresi dalam penetapan tarif;
e. bahwa
kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip
demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan
memperhatikan potensi daerah;
f. bahwa
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah;
g. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
Mengingat : Pasal
5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D, dan
Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah
Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pemerintah
Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
3. Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan Tugas Pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Pemerintah
Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsure
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
5. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
6. Kepala
Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten
atau walikota bagi Daerah kota.
7. Pejabat
adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah dan/atau
retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
8. Peraturan
Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi
dan/atau daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
9. Peraturan
Kepala Daerah adalah Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Walikota.
10. Pajak
Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
11. Badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
(BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.
12. Pajak
Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan
bermotor.
13. Kendaraan
Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di
semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau
peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi
tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk
alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan
motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang
dioperasikan di air.
14. Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan
bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau
keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau
pemasukan ke dalam badan usaha.
15. Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar
kendaraan bermotor.
16. Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang
digunakan untuk kendaraan bermotor.
17. Pajak
Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
18. Air
Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk
air laut, baik yang berada di laut maupun di darat.
19. Pajak
Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
20. Pajak
Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
21. Hotel
adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait
lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk
pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya,
serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
22. Pajak
Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
23. Restoran
adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran,
yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya
termasuk jasa boga/katering.
24. Pajak
Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
25. Hiburan adalah semua jenis tontonan,
pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut
bayaran.
26. Pajak
Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
27. Reklame
adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya
dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan,
atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan,
yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
28. Pajak
Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
29. Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral
bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi
untuk dimanfaatkan.
30. Mineral
Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana
dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara.
31. Pajak
Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan
sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
32. Parkir
adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
33. Pajak
Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
34. Air
Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
35. Pajak
Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan
sarang burung walet.
36. Burung
Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia
maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
37. Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau
bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan.
38. Bumi
adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut
wilayah kabupaten/kota.
39. Bangunan
adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
40. Nilai
Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang
diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana
tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
41. Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan.
42. Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi
atau Badan.
43. Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang
pertanahan dan bangunan.
44. Subjek
Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
45. Wajib
Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
46. Masa
Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang
diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang
menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak
yang terutang.
47. Tahun
Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
48. Pajak
yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa
Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
49. Pemungutan
adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek
pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai
kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi
serta pengawasan penyetorannya.
50. Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang
oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
51. Surat
Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah surat yang
digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
52. Surat
Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran
atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah
dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang
ditunjuk oleh Kepala Daerah.
53. Surat
Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
54. Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan
untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
yang terutang kepada Wajib Pajak.
55. Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
56. Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat
SKPDKBT, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.
57. Surat
Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
58. Surat
Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak
lebih besar dari pada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
59. Surat
Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau
sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
60. Surat
Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan
Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
61. Surat
Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar,
atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh
Wajib Pajak.
62. Putusan
Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
63. Pembukuan
adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut.
64. Retribusi
Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
65. Jasa
adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan
barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau Badan.
66. Jasa
Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau Badan.
67. Jasa
Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut
prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh
sektor swasta.
68. Perizinan
Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin
kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan
sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
69. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau
Badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi
tertentu.
70. Masa
Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi
Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah
yang bersangkutan.
71. Surat
Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah bukti
pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan
formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
72. Surat
Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi
yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
73. Surat
Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB,
adalah surat
ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi
karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang
atau seharusnya tidak terutang.
74. Surat
Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan
tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
75. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan
menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan
secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi dan/atau
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
76. Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah
dan retribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2
(1) Jenis
Pajak provinsi terdiri atas:
a. Pajak
Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air
Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
(2) Jenis
Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(3) Daerah
dilarang memungut pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2).
(4) Jenis
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat tidak dipungut
apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(5) Khusus
untuk Daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi dalam
daerah kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis Pajak
yang dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan
Pajak untuk daerah kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Pajak Kendaraan Bermotor
Pasal 3
(1) Objek
Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan
Bermotor.
(2) Termasuk
dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua
jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran
isi kotor GT 5 (lima
Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
(3) Dikecualikan
dari pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. kereta
api;
b. Kendaraan
Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan
negara;
c. Kendaraan
Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara
asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang
memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
d. objek
Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Pasal 4
(1) Subjek
Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau
menguasai Kendaraan Bermotor.
(2) Wajib
Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki
Kendaraan Bermotor.
(3) Dalam
hal Wajib Pajak Badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau
kuasa Badan tersebut.
Pasal 5
(1) Dasar
pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur
pokok:
a. Nilai
Jual Kendaraan Bermotor; dan
b. bobot yang
mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran
lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
(2) Khusus
untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat
berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan
Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor.
(3) Bobot
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien yang
nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu), dengan pengertian sebagai berikut:
a. koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau
pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap
masih dalam batas toleransi; dan
b. koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti penggunaan Kendaraan
Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
(4) Nilai
Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan Harga Pasaran Umum atas suatu
Kendaraan Bermotor.
(5) Harga
Pasaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah harga rata-rata yang
diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
(6) Nilai
Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan
berdasarkan Harga Pasaran Umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
(7) Dalam
hal Harga Pasaran Umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, Nilai Jual
Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
a. harga
Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
b. penggunaan
Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
c. harga
Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
d. harga
Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
e. harga
Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
f. harga
Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
g. harga
Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
(8) Bobot
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor-faktor:
a. tekanan
gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan
Bermotor;
b. jenis
bahan bakar Kendaraan Bermotor yang dibedakan menurut solar, bensin, gas,
listrik, tenaga surya, atau jenis bahan bakar lainnya; dan
c. jenis,
penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang
dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder.
(9) Penghitungan
dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8)
dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan.
(10)Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan
Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali setiap tahun.
Pasal 6
(1) Tarif
Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk
kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen)
dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen);
b. untuk
kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan
secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen).
(2) Kepemilikan
Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama.
(3) Tarif
Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial
keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah
Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan
paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1%
(satu persen).
(4) Tarif
Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling
rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma
dua persen).
(5) Tarif Pajak
Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 7
(1) Besaran
pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9).
(2) Pajak
Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Kendaraan
Bermotor terdaftar.
(3) Pemungutan
Pajak Kendaraan Bermotor dilakukan bersamaan dengan penerbitan Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor.
(4) Pemungutan
pajak tahun berikutnya dilakukan di kas daerah atau bank yang ditunjuk oleh
Kepala Daerah.
Pasal 8
(1) Pajak
Kendaraan Bermotor dikenakan untuk Masa Pajak 12 (dua belas) bulan
berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.
(2) Pajak
Kendaraan Bermotor dibayar sekaligus di muka.
(3) Untuk
Pajak Kendaraan Bermotor yang karena keadaan kahar (force majeure) Masa Pajaknya tidak sampai
12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan restitusi atas pajak yang sudah dibayar
untuk porsi Masa Pajak yang belum dilalui.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi diatur dengan Peraturan
Gubernur.
(5) Hasil
penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% (sepuluh persen),
termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dialokasikan untuk pembangunan
dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi
umum.
Bagian Ketiga
Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor
Pasal 9
(1) Objek
Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan kepemilikan Kendaraan
Bermotor.
(2) Termasuk
dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua
jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran
isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
(3) Dikecualikan
dari pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
a. kereta
api;
b. Kendaraan
Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan
negara;
c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau
dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik
dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak
dari Pemerintah; dan
d. objek
pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
(4) Penguasaan Kendaraan Bermotor melebihi 12 (dua belas) bulan
dapat dianggap sebagai penyerahan.
(5) Penguasaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak termasuk penguasaan Kendaraan Bermotor karena perjanjian sewa beli.
(6) Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai
secara tetap di Indonesia,
kecuali:
a. untuk dipakai
sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan;
b. untuk
diperdagangkan;
c. untuk
dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia; dan
d. digunakan
untuk pameran, penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf
internasional.
(7) Pengecualian
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c tidak berlaku apabila selama 3
(tiga) tahun berturut-turut tidak dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia.
Pasal 10
(1) Subjek
Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang
dapat menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
(2) Wajib
Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang
menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
Pasal 11
Dasar
pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan
Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9).
Pasal 12
(1) Tarif
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing
sebagai berikut:
a. penyerahan
pertama sebesar 20% (dua puluh persen); dan
b. penyerahan
kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).
(2) Khusus
untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak
menggunakan jalan umum tariff pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing
sebagai berikut:
a. penyerahan
pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen); dan
b. penyerahan
kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen).
(3) Tarif Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 13
(1) Besaran
Pokok Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tariff sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat
Kendaraan Bermotor terdaftar.
(3) Pembayaran
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dilakukan pada saat pendaftaran.
Pasal 14
Wajib
Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor wajib mendaftarkan penyerahan Kendaraan
Bermotor dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat
penyerahan.
Pasal 15
(1) Orang
pribadi atau Badan yang menyerahkan Kendaraan Bermotor melaporkan secara
tertulis penyerahan tersebut kepada gubernur atau pejabat yang ditunjuk dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan.
(2) Laporan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit berisi:
a. nama dan
alamat orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan;
b. tanggal,
bulan, dan tahun penyerahan;
c. nomor
polisi kendaraan bermotor;
d. lampiran
fotokopi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor; dan
e. khusus
untuk kendaraan di air ditambahkan pas dan nomor pas kapal.
Bagian Keempat
Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor
Pasal 16
Objek
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang
disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan baker
yang digunakan untuk kendaraan di air.
Pasal 17
(1) Subjek
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor.
(2) Wajib
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang
menggunakan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
(3) Pemungutan
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh penyedia Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor.
(4) Penyedia
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
produsen dan/atau importer Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun
untuk digunakan sendiri.
Pasal 18
Dasar
pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Pasal 19
(1) Tarif
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen).
(2) Khusus
tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum
dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi.
(3) Pemerintah
dapat mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang sudah ditetapkan
dalam Peraturan Daerah dengan Peraturan Presiden.
(4) Kewenangan
Pemerintah untuk mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan
dalam hal:
a. terjadi
kenaikan harga minyak dunia melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari
asumsi harga minyak dunia yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan; atau
b. diperlukan
stabilisasi harga bahan bakar minyak untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga)
tahun sejak ditetapkannya Undang-Undang ini.
(5) Dalam hal harga minyak dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a sudah normal kembali, Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dicabut dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.
(6) Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
Pasal 20
Besaran
pokok Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) dengan
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Bagian Kelima
Pajak Air Permukaan
Pasal 21
(1) Objek
Pajak Air Permukaan adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
(2) Dikecualikan
dari objek Pajak Air Permukaan adalah:
a. pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga,
pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan
kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan; dan
b. pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Permukaan lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan
Daerah.
Pasal 22
(1) Subjek
Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
(2) Wajib
Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
Pasal 23
(1) Dasar
pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air Permukaan.
(2) Nilai
Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam
rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh factor-faktor
berikut:
a. jenis
sumber air;
b. lokasi
sumber air;
c. tujuan
pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume
air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas
air;
f. luas
areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air; dan
g. tingkat
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan
air.
(3) Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disesuaikan dengan kondisi masing-masing Daerah.
(4) Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 24
(1) Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 25
(1) Besaran
pokok Pajak Air Permukaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4).
(2) Pajak
Air Permukaan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air berada.
Bagian Keenam
Pajak Rokok
Pasal 26
(1) Objek
Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
(2) Rokok
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.
(3) Dikecualikan
dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang
tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Pasal 27
(1) Subjek
Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
(2) Wajib
Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang
memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
(3) Pajak
Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan
dengan pemungutan cukai rokok.
(4) Pajak
Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan
jumlah penduduk.
(5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 28
Dasar
pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap
rokok.
Pasal 29
Tarif
Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
Pasal 30
Besaran
pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28.
Pasal 31
Penerimaan
Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan
paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan
masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
Bagian Ketujuh
Pajak Hotel
Pasal 32
(1) Objek
Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran,
termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan
dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.
(2) Jasa
penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon,
faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi,
dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel.
(3) Tidak
termasuk objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. jasa
tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah;
b. jasa sewa
apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c. jasa
tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa
tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan
panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e. jasa biro
perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat
dimanfaatkan oleh umum.
Pasal 33
(1) Subjek
Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada
orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.
(2) Wajib
Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.
Pasal 34
Dasar
pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
kepada Hotel.
Pasal 35
(1) Tarif
Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif
Pajak Hotel ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 36
(1) Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
(2) Pajak Hotel yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat
Hotel berlokasi.
Bagian Kedelapan
Pajak Restoran
Pasal 37
(1) Objek
Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran.
(2) Pelayanan
yang disediakan Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan
penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik
dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain.
(3) Tidak
termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelayanan yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi
batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 38
(1) Subjek
Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau
minuman dari Restoran.
(2) Wajib
Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran.
Pasal 39
Dasar
pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang
seharusnya diterima Restoran.
Pasal 40
(1) Tarif
Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif
Pajak Restoran ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 41
(1) Besaran
pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39.
(2) Pajak
Restoran yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Restoran berlokasi.
Bagian Kesembilan
Pajak Hiburan
Pasal 42
(1) Objek
Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran.
(2) Hiburan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. tontonan
film;
b. pagelaran
kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes
kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik,
karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f. sirkus,
akrobat, dan sulap;
g. permainan
bilyar, golf, dan boling;
h. pacuan
kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. panti
pijat, refleksi, mandi uap/spa,
dan pusat kebugaran (fitness center); dan
j. pertandingan
olahraga.
(3) Penyelenggaraan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dikecualikan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 43
(1) Subjek
Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan.
(2) Wajib
Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Hiburan.
Pasal 44
(1) Dasar
pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya
diterima oleh penyelenggara Hiburan.
(2) Jumlah
uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan.
Pasal 45
(1) Tarif
Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
(2) Khusus
untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke,
klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat
ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
(3) Khusus
Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan
paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(4) Tarif
Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 46
(1) Besaran
pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44.
(2) Pajak
Hiburan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Hiburan
diselenggarakan.
Bagian Kesepuluh
Pajak Reklame
Pasal 47
(1) Objek
Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(2) Objek
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Reklame
papan/billboard/videotron/megatron
dan sejenisnya;
b. Reklame
kain;
c. Reklame
melekat, stiker;
d. Reklame
selebaran;
e. Reklame
berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame
udara;
g. Reklame
apung;
h. Reklame
suara;
i. Reklame
film/slide; dan
j. Reklame
peragaan.
(3) Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah:
a. penyelenggaraan
Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta
bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek
produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk
membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama
pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha
atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama
pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. Reklame
yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
e. penyelenggaraan
Reklame lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 48
(1) Subjek
Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
(2) Wajib
Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
(3) Dalam
hal Reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau
Badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut.
(4) Dalam
hal Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi
Wajib Pajak Reklame.
Pasal 49
(1) Dasar
pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
(2) Dalam
hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam
hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan,
lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran
media Reklame.
(4) Dalam
hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui
dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan
faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Cara
perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
(6) Hasil
perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan
dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 50
(1) Tarif
Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).
(2) Tarif
Pajak Reklame ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 51
(1) Besaran
pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (6).
(2) Pajak
Reklame yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Reklame tersebut
diselenggarakan.
Bagian Kesebelas
Pajak Penerangan Jalan
Pasal 52
(1) Objek
Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan
sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
(2) Listrik
yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh
pembangkit listrik.
(3) Dikecualikan
dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. penggunaan
tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. penggunaan
tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan
perwakilan asing dengan asas timbal balik;
c. penggunaan
tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak
memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
d. penggunaan
tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 53
(1) Subjek
Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat menggunakan
tenaga listrik.
(2) Wajib
Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan tenaga
listrik.
(3) Dalam
hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan
adalah penyedia tenaga listrik.
Pasal 54
(1) Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.
(2) Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan:
a. dalam hal
tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga
Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian
kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;
b. dalam hal
tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung
berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian
listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang
bersangkutan.
Pasal 55
(1) Tarif
Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Penggunaan
tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas
alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen).
(3) Penggunaan
tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tariff Pajak Penerangan Jalan
ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
(4) Tarif
Pajak Penerangan Jalan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 56
(1) Besaran
pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(2) Pajak
Penerangan Jalan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat penggunaan
tenaga listrik.
(3) Hasil
penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan
penerangan jalan.
Bagian Kedua Belas
Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan
Pasal 57
(1) Objek
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah kegiatan pengambilan Mineral Bukan
Logam dan Batuan yang meliputi:
a. asbes;
b. batu
tulis;
c. batu
setengah permata;
d. batu
kapur;
e. batu
apung;
f. batu
permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam
batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. opsidien;
v. oker;
w. pasir dan
kerikil;
x. pasir
kuarsa;
y. perlit;
z. phospat;
aa. talk;
bb. tanah
serap (fullers earth);
cc. tanah
diatome;
dd. tanah
liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosif;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. trakkit;
dan
kk. Mineral
Bukan Logam dan Batuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dikecualikan
dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah:
a. kegiatan
pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan
secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah
tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman
pipa air/gas;
b. kegiatan
pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan
lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial; dan
c. pengambilan
Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 58
(1) Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi
atau Badan yang dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(2) Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi
atau Badan yang mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Pasal 59
(1) Dasar
pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual Hasil
Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(2) Nilai
jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan
volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar
masing-masing jenis Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(3) Nilai
pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata-rata yang berlaku di
lokasi setempat di wilayah daerah yang bersangkutan.
(4) Dalam
hal nilai pasar dari hasil produksi Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sulit diperoleh, digunakan harga standar yang ditetapkan
oleh instansi yang berwenang dalam bidang pertambangan Mineral Bukan Logam dan
Batuan.
Pasal 60
(1) Tarif
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua
puluh lima
persen).
(2) Tarif
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 61
(1) Besaran
pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(2) Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat
pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Bagian Ketiga Belas
Pajak Parkir
Pasal 62
(1) Objek
Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat Parkir di luar badan jalan, baik
yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
(2) Tidak
termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. penyelenggaraan
tempat Parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. penyelenggaraan
tempat Parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
c. penyelenggaraan
tempat Parkir oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal
balik; dan
d. penyelenggaraan
tempat Parkir lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 63
(1) Subjek
Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir kendaraan
bermotor.
(2) Wajib
Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan tempat
Parkir.
Pasal 64
(1) Dasar
pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
kepada penyelenggara tempat Parkir.
(2) Dasar
pengenaan Pajak Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
(3) Jumlah
yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan
harga Parkir dan Parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Parkir.
Pasal 65
(1) Tarif
Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen).
(2) Tarif
Pajak Parkir ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 66
(1) Besaran
pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.
(2) Pajak
Parkir yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Parkir berlokasi.
Bagian Keempat Belas
Pajak Air Tanah
Pasal 67
(1) Objek
Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Dikecualikan
dari objek Pajak Air Tanah adalah:
a. pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan
pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan; dan
b. pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 68
(1) Subjek
Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib
Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
Pasal 69
(1) Dasar
pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah.
(2) Nilai
Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah
yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut:
a. jenis
sumber air;
b. lokasi
sumber air;
c. tujuan
pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume
air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas
air; dan
f. tingkat
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan
air.
(3) Penggunaan
faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan kondisi
masing-masing Daerah.
(4) Besarnya
Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Bupati/Walikota.
Pasal 70
(1) Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua
puluh persen).
(2) Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 71
(1) Besaran
pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (4).
(2) Pajak
Air Tanah yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air diambil.
Bagian Kelima Belas
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 72
(1) Objek
Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung
Walet.
(2) Tidak
termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. pengambilan
Sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);
b. kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan
Sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 73
(1) Subjek
Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
(2) Wajib
Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
Pasal 74
(1) Dasar
pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung Walet.
(2) Nilai
Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang
berlaku di daerah yang bersangkutan dengan volume Sarang Burung Walet.
Pasal 75
(1) Tarif
Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen).
(2) Tarif
Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 76
(1) Besaran
pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana di maksud dalam Pasal 75 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74.
(2) Pajak
Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat pengambilan
dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
Bagian Keenam Belas
Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan
Pasal 77
(1) Objek
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan
yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.
(2) Termasuk
dalam pengertian Bangunan adalah:
a. jalan
lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik,
dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan
tersebut;
b. jalan
tol;
c. kolam
renang;
d. pagar
mewah;
e. tempat
olahraga;
f. galangan
kapal, dermaga;
g. taman
mewah;
h. tempat
penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i. menara.
(3) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang:
a. digunakan
oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
b. digunakan
semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan;
c. digunakan
untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d. merupakan
hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak;
e. digunakan
oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik; dan
f. digunakan
oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan
paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib
Pajak.
(5) Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 78
(1) Subjek
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan
yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat
atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
(2) Wajib
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan
yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat
atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
Bangunan.
Pasal 79
(1) Dasar
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP.
(2) Besarnya
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun,
kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan
wilayahnya.
(3) Penetapan
besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Daerah.
Pasal 80
(1) Tarif
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi
sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
(2) Tarif
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
Pasal 81
Besaran
pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tariff sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2)
dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3)
setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 ayat (5).
Pasal 82
(1) Tahun
Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
(2) Saat
yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada
tanggal 1 Januari.
(3) Tempat
pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi letak objek pajak.
Pasal 83
(1) Pendataan
dilakukan dengan menggunakan SPOP.
(2) SPOP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap
serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala Daerah yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak.
Pasal 84
(1) Berdasarkan
SPOP, Kepala Daerah menerbitkan SPPT.
(2) Kepala
Daerah dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai berikut:
a. SPOP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) tidak disampaikan dan setelah
Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Kepala Daerah sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran;
b. berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang
lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan
oleh Wajib Pajak.
Bagian Ketujuh Belas
Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan
Pasal 85
(1) Objek
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemindahan
hak karena:
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hokum lain;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha; atau
13) hadiah.
b. pemberian
hak baru karena:
1) kelanjutan pelepasan hak; atau
2) di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. hak
milik;
b. hak guna
usaha;
c. hak guna
bangunan;
d. hak
pakai;
e. hak milik
atas satuan rumah susun; dan
f. hak
pengelolaan.
(4) Objek
pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
objek pajak yang diperoleh:
a. perwakilan
diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. negara
untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan
umum;
c. badan
atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di
luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. orang
pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama;
e. orang
pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. orang
pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Pasal 86
(1) Subjek
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan
yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Wajib
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan
yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Pasal 87
(1) Dasar
pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan
Objek Pajak.
(2) Nilai
Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. jual beli
adalah harga transaksi;
b. tukar
menukar adalah nilai pasar;
c. hibah
adalah nilai pasar;
d. hibah
wasiat adalah nilai pasar;
e. waris
adalah nilai pasar;
f. pemasukan
dalam peseroan atau badan hokum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan
hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
nilai pasar;
i. pemberian
hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian
hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan
usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan
usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah
adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan
pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah
lelang.
(3) Jika
Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai
dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan
dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
(4) Besarnya
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(5) Dalam
hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi
yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat,
termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan
paling rendah sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(6) Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 88
(1) Tarif
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
(2) Tarif
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 89
(1) Besaran
pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) setelah dikurangi
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
87 ayat (6).
(2) Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di wilayah daerah
tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.
Pasal 90
(1) Saat
terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan
untuk:
a. jual beli
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar-menukar
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c. hibah
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. hibah
wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
e. waris
adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor
bidang pertanahan;
f. pemasukan
dalam perseroan atau badan hokum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
g. pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
h. putusan
hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap;
i. pemberian
hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya
surat keputusan
pemberian hak;
j. pemberian
hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian
hak;
k. penggabungan
usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
l. peleburan
usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m. pemekaran
usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n. hadiah
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
o. lelang
adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.
(2) Pajak
yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 91
(1) Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
(2) Kepala
kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara hanya dapat menandatangani
risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak.
(3) Kepala
kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau
pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak.
Pasal 92
(1) Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang
negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya.
(2) Tata
cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 93
(1) Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang
negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan
ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp7.500.000,00
(tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2) Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang
negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(3) Kepala
kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
BAGI HASIL PAJAK PROVINSI
Pasal 94
(1) Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang
bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. hasil
penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 30% (tiga puluh persen);
b. hasil
penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada
kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen);
c. hasil
penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh
puluh persen); dan
d. hasil
penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 50% (lima puluh persen).
(2) Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari sumber air yang
berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan Pajak Air
Permukaan dimaksud diserahkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar
80% (delapan puluh persen).
(3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi
antarkabupaten/kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan Pajak
provinsi yang diperuntukkan bagi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
BAB IV
PENETAPAN DAN MUATAN YANG
DIATUR
DALAM PERATURAN DAERAH
TENTANG PAJAK
Pasal 95
(1) Pajak
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Peraturan
Daerah tentang Pajak tidak berlaku surut.
(3) Peraturan
Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
a. nama,
objek, dan Subjek Pajak;
b. dasar
pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
c. wilayah
pemungutan;
d. Masa
Pajak;
e. penetapan;
f. tata
cara pembayaran dan penagihan;
g. kedaluwarsa;
h. sanksi
administratif; dan
i. tanggal
mulai berlakunya.
(4) Peraturan
Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:
a. pemberian
pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak
dan/atau sanksinya;
b. tata cara
penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
c. asas
timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak
kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman
internasional.
BAB V
PEMUNGUTAN PAJAK
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan
Pasal 96
(1) Pemungutan
Pajak dilarang diborongkan.
(2) Setiap
Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan.
(3) Wajib
Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala Daerah
dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(4) Dokumen
lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa karcis dan
nota perhitungan.
(5) Wajib
Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan
SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
Pasal 97
(1) Dalam
jangka waktu 5 (lima)
tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan:
a. SKPDKB
dalam hal:
1) jika
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar;
2) jika
SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana
ditentukan dalam surat
teguran;
3) jika
kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara
jabatan.
b. SKPDKBT
jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
c. SKPDN
jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar
2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya
pajak.
(3) Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(4) Kenaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan
sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah
pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat
terutangnya pajak.
Pasal 98
Ketentuan
lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan
Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya
berkaitan dengan pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 99
(1) Tata
cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan
SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Kepala Daerah.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen
lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 96 ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Bagian Kedua
Surat Tagihan Pajak
Pasal 100
(1) Kepala
Daerah dapat menerbitkan STPD jika:
a. pajak dalam
tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari
hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah
tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib
Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima
belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran
dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan
ditagih melalui STPD.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan
Penagihan
Pasal 101
(1) Kepala
Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak
dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
(2) SPPT,
SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3) Kepala
Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan
dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran,
angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 102
(1) Pajak
yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB,SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau
kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Penagihan
pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Keberatan dan Banding
Pasal 103
(1) Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang
ditunjuk atas suatu:
a. SPPT;
b. SKPD;
c. SKPDKB;
d. SKPDKBT;
e. SKPDLB;
f. SKPDN;
dan
g. Pemotongan
atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan
yang jelas.
(3) Keberatan
harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan
dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang
telah disetujui Wajib Pajak.
(5) Keberatan
yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan.
(6) Tanda
penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Kepala
Daerah atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat
keberatan melalui surat pos tercatat sebagai
tanda bukti penerimaan surat
keberatan.
Pasal 104
(1) Kepala
Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat
Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan
Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,
menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Daerah
tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 105
(1) Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
(2) Permohonan
banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan
tersebut.
(3) Pengajuan
permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Pasal 106
(1) Jika
pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(2) Imbalan
bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai
dengan diterbitkannya SKPDLB.
(3) Dalam
hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
(4) Dalam
hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa
denda sebesar 50% (lima
puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.
(5) Dalam
hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Bagian Kelima
Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan, dan
Penghapusan atau Pengurangan
Sanksi administrative
Pasal 107
(1) Atas
permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Kepala Daerah dapat membetulkan
SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan
penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
(2) Kepala
Daerah dapat:
a. mengurangkan
atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak
yang terutang menurut peraturan perundangundangan perpajakan daerah, dalam hal
sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya;
b. mengurangkan
atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang
tidak benar;
c. mengurangkan
atau membatalkan STPD;
d. membatalkan
hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak
sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan
ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib
Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi
administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
BAB VI
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Objek dan Golongan Retribusi
Pasal 108
(1) Objek
Retribusi adalah:
a. Jasa
Umum;
b. Jasa
Usaha; dan
c. Perizinan
Tertentu.
(2) Retribusi
yang dikenakan atas jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum.
(3) Retribusi
yang dikenakan atas jasa usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha.
(4) Retribusi
yang dikenakan atas perizinan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu.
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 109
Objek
Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah
Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau Badan.
Pasal 110
(1) Jenis
Retribusi Jasa Umum adalah:
a. Retribusi
Pelayanan Kesehatan;
b. Retribusi
Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
c. Retribusi
Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
d. Retribusi
Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
e. Retribusi
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
f. Retribusi
Pelayanan Pasar;
g. Retribusi
Pengujian Kendaraan Bermotor;
h. Retribusi
Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
i. Retribusi
Penggantian Biaya Cetak Peta;
j. Retribusi
Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
k. Retribusi
Pengolahan Limbah Cair;
l. Retribusi
Pelayanan Tera/Tera Ulang;
m. Retribusi
Pelayanan Pendidikan; dan
n. Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi.
(2) Jenis
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut apabila
potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan
pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
Pasal 111
(1) Objek
Retribusi Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1)
huruf a adalah pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas
pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan
kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah
Daerah, kecuali pelayanan pendaftaran.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Pasal 112
(1) Objek
Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110
ayat (1) huruf b adalah pelayanan persampahan/kebersihan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
a. pengambilan/pengumpulan
sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
b. pengangkutan
sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan/pembuangan
akhir sampah; dan
c. penyediaan
lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan
kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
Pasal 113
Objek
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf c adalah pelayanan:
a. kartu
tanda penduduk;
b. kartu
keterangan bertempat tinggal;
c. kartu
identitas kerja;
d. kartu
penduduk sementara;
e. kartu
identitas penduduk musiman;
f. kartu
keluarga; dan
g. akta
catatan sipil yang meliputi akta perkawinan, akta perceraian, akta pengesahan
dan pengakuan anak, akta ganti nama bagi warga negara asing, dan akta kematian.
Pasal 114
Objek
Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 110 ayat (1) huruf d adalah pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat yang
meliputi:
a. pelayanan
penguburan/pemakaman termasuk penggalian dan pengurukan, pembakaran/ pengabuan
mayat; dan
b. sewa
tempat pemakaman atau pembakaran/pengabuan mayat yang dimiliki atau dikelola
Pemerintah Daerah.
Pasal 115
Objek
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
110 ayat (1) huruf e adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang
ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 116
(1) Objek
Retribusi Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf f
adalah penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana, berupa pelataran, los,
kios yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan
fasilitas pasar yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Pasal 117
Objek
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110
ayat (1) huruf g adalah pelayanan pengujian kendaraan bermotor, termasuk
kendaraan bermotor di air, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan,
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 118
Objek
Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
110 ayat (1) huruf h adalah pelayanan pemeriksaan dan/atau pengujian alat pemadam
kebakaran, alat penanggulangan kebakaran, dan alat penyelamatan jiwa oleh
Pemerintah Daerah terhadap alat-alat pemadam kebakaran, alat penanggulangan
kebakaran, dan alat penyelamatan jiwa yang dimiliki dan/atau dipergunakan oleh masyarakat.
Pasal 119
Objek
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110
ayat (1) huruf i adalah penyediaan peta yang dibuat oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 120
(1) Objek
Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
110 ayat (1) huruf j adalah pelayanan penyediaan dan/atau penyedotan kakus yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan
penyediaan dan/atau penyedotan kakus yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola
oleh BUMN, BUMD dan pihak swasta.
Pasal 121
(1) Objek
Retribusi Pengolahan Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1)
huruf k adalah pelayanan pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan
industri yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola secara khusus oleh
Pemerintah Daerah dalam bentuk instalasi pengolahan limbah cair.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan pengolahan
limbah cair yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN,
BUMD, pihak swasta, dan pembuangan limbah cair secara langsung ke sungai, drainase,
dan/atau sarana pembuangan lainnya.
Pasal 122
Objek
Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat
(1) huruf l adalah:
a. pelayanan
pengujian alat-alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya; dan
b. pengujian
barang dalam keadaan terbungkus yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
Pasal 123
(1) Objek
Retribusi Pelayanan Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1)
huruf m adalah pelayanan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis oleh
Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. pelayanan
pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah;
b. pendidikan/pelatihan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah;
c. pendidikan/pelatihan
yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD; dan d. pendidikan/pelatihan yang
diselenggarakan oleh pihak swasta.
Pasal 124
Objek
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
110 ayat (1) huruf n adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan
memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum.
Pasal 125
(1) Subjek
Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan jasa umum yang bersangkutan.
(2) Wajib
Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan
peraturan perundangundangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran
Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Umum.
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 126
Objek
Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah
dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
a. pelayanan
dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara
optimal; dan/atau
b. pelayanan
oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak
swasta.
Pasal 127
Jenis
Retribusi Jasa Usaha adalah:
a. Retribusi
Pemakaian Kekayaan Daerah;
b. Retribusi
Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
c. Retribusi
Tempat Pelelangan;
d. Retribusi
Terminal;
e. Retribusi
Tempat Khusus Parkir;
f. Retribusi
Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
g. Retribusi
Rumah Potong Hewan;
h. Retribusi
Pelayanan Kepelabuhanan;
i. Retribusi
Tempat Rekreasi dan Olahraga;
j. Retribusi
Penyeberangan di Air; dan
k. Retribusi
Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Pasal 128
(1) Objek
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf
a adalah pemakaian kekayaan Daerah.
(2) Dikecualikan
dari pengertian pemakaian kekayaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut.
Pasal 129
(1) Objek
Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127
huruf b adalah penyediaan fasilitas pasar grosir berbagai jenis barang, dan fasilitas
pasar/pertokoan yang dikontrakkan, yang disediakan/diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas pasar
yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Pasal 130
(1) Objek
Retribusi Tempat Pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf c adalah
penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah
untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk
jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
(2) Termasuk
objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang dikontrak
oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
(3) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat
pelelangan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan
pihak swasta.
Pasal 131
(1) Objek
Retribusi Terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf d adalah
pelayanan penyediaan tempat parkir untuk kendaraan penumpang dan bis umum, tempat
kegiatan usaha, dan fasilitas lainnya di lingkungan terminal, yang disediakan,
dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah terminal yang
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak
swasta.
Pasal 132
(1) Objek
Retribusi Tempat Khusus Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf e
adalah pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola
oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan tempat
parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN,
BUMD, dan pihak swasta.
Pasal 133
(1) Objek
Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
127 huruf f adalah pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan,
dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat penginapan/pesanggrahan/villa
yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak
swasta.
Pasal 134
(1) Objek
Retribusi Rumah Potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf g
adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk
pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan
penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki, dan/atau
dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Pasal 135
(1) Objek
Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf h
adalah pelayanan jasa kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan
yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa
kepelabuhanan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN,
BUMD, dan pihak swasta.
Pasal 136
(1) Objek
Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127
huruf i adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan,
dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan tempat
rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola
oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Pasal 137
(1) Objek
Retribusi Penyeberangan di Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf j
adalah pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan
di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan
penyeberangan yang dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Pasal 138
(1) Objek
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127
huruf k adalah penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan
dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan
produksi oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
Pasal 139
(1) Subjek
Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan jasa usaha yang bersangkutan.
(2) Wajib
Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan
peraturan perundangundangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran
Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Usaha.
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 140
Objek
Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh
Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk
pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Pasal 141
Jenis
Retribusi Perizinan Tertentu adalah:
a. Retribusi
Izin Mendirikan Bangunan;
b. Retribusi
Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
c. Retribusi
Izin Gangguan;
d. Retribusi
Izin Trayek; dan
e. Retribusi
Izin Usaha Perikanan.
Pasal 142
(1) Objek
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf a
adalah pemberian izin untuk mendirikan suatu bangunan.
(2) Pemberian
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan peninjauan desain dan
pemantauan pelaksanaan pembangunannya agar tetap sesuai dengan rencana teknis
bangunan dan rencana tata ruang, dengan tetap memperhatikan koefisien dasar
bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB), koefisien ketinggian bangunan
(KKB), dan pengawasan penggunaan bangunan yang meliputi pemeriksaan dalam
rangka memenuhi syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut.
(3) Tidak
termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemberian
izin untuk bangunan milik Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Pasal 143
Objek
Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 141 huruf b adalah pemberian izin untuk melakukan penjualan minuman beralkohol
di suatu tempat tertentu.
Pasal 144
(1) Objek
Retribusi Izin Gangguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf c adalah
pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang dapat
menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk pengawasan dan
pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya
gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban
lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.
(2) Tidak
termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat
usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Pasal 145
Objek
Retribusi Izin Trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf d adalah
pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan untuk menyediakan pelayanan
angkutan penumpang umum pada suatu atau beberapa trayek tertentu.
Pasal 146
Objek
Retribusi Izin Usaha Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf e
adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan untuk melakukan kegiatan
usaha penangkapan dan pembudidayaan ikan.
Pasal 147
(1) Subjek
Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh
izin tertentu dari Pemerintah Daerah.
(2) Wajib
Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau Badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan
pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Perizinan
Tertentu.
Pasal 148
Teknis
pemberian perizinan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Jenis, Rincian Objek, dan
Kriteria Retribusi
Pasal 149
(1) Jenis
Retribusi Jasa Umum dan Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 141, untuk Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
disesuaikan dengan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
(2) Jenis
Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, untuk Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan jasa/pelayanan yang diberikan
oleh Daerah masing-masing.
(3) Rincian
jenis objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat
(1), Pasal 127, dan Pasal 141 diatur dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan.
Pasal 150
Jenis
Retribusi selain yang ditetapkan dalam Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal
141 sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Retribusi
Jasa Umum:
1. Retribusi
Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau
Retribusi Perizinan Tertentu;
2. jasa yang
bersangkutan merupakan kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi;
3. jasa
tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau Badan yang diharuskan
membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum;
4. jasa
tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi atau Badan yang membayar
retribusi dengan memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak mampu;
5. Retribusi
tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya;
6. Retribusi
dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber
pendapatan Daerah yang potensial; dan
7. pemungutan
Retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau
kualitas pelayanan yang lebih baik.
b. Retribusi
Jasa Usaha:
1. Retribusi
Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau
Retribusi Perizinan Tertentu; dan
2. jasa yang
bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan
oleh sector swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang
dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah
Daerah.
c. Retribusi
Perizinan Tertentu:
1. perizinan
tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka
asas desentralisasi;
2. perizinan
tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum; dan
3. biaya
yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi
dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai
dari retribusi perizinan; ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Tata Cara Penghitungan Retribusi
Pasal 151
(1) Besarnya
Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat
penggunaan jasa dengan tariff Retribusi.
(2) Tingkat
penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah penggunaan
jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah
untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
(3) Apabila
tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sulit diukur maka
tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah
Daerah.
(4) Rumus
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mencerminkan beban yang dipikul oleh
Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut.
(5) Tarif
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai rupiah atau persentase
tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
(6) Tarif
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau
bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tariff Retribusi.
Bagian Ketujuh
Prinsip dan Sasaran Penetapan
Tarif Retribusi
Pasal 152
(1) Prinsip
dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan
memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat,
aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
(2) Biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan,
biaya bunga, dan biaya modal.
(3) Dalam
hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan
tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
(4) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda
Penduduk dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta hanya memperhitungkan biaya
pencetakan dan pengadministrasian.
Pasal 153
(1) Prinsip
dan sasaran dalam penetapan besarnya tariff Retribusi Jasa Usaha didasarkan
pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
(2) Keuntungan
yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh
apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi
pada harga pasar.
Pasal 154
(1) Prinsip
dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada
tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin
yang bersangkutan.
(2) Biaya
penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan,
dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
Pasal 155
(1) Tarif
Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan
tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
(3) Penetapan
tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Daerah.
BAB VII
PENETAPAN DAN MUATAN YANG
DIATUR
DALAM PERATURAN DAERAH
TENTANG RETRIBUSI
Pasal 156
(1) Retribusi
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Peraturan
Daerah tentang Retribusi tidak dapat berlaku surut.
(3) Peraturan
Daerah tentang Retribusi paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
a. nama,
objek, dan Subjek Retribusi;
b. golongan
Retribusi;
c. cara
mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan;
d. prinsip
yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi;
e. struktur
dan besarnya tarif Retribusi;
f. wilayah
pemungutan;
g. penentuan
pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran;
h. sanksi
administratif;
i. penagihan;
j. penghapusan
piutang Retribusi yang kedaluwarsa; dan
k. tanggal
mulai berlakunya.
(4) Peraturan
Daerah tentang Retribusi dapat juga mengatur ketentuan mengenai:
a. Masa
Retribusi;
b. pemberian
keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok Retribusi
dan/atau sanksinya; dan/atau
c. tata cara
penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa.
(5) Pengurangan dan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b diberikan dengan melihat kemampuan Wajib Retribusi.
(6) Pembebasan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b
diberikan dengan melihat fungsi objek Retribusi.
(7) Peraturan Daerah untuk jenis Retribusi yang tergolong dalam
Retribusi Perizinan Tertentu harus terlebih dahulu disosialisasikan dengan
masyarakat sebelum ditetapkan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan
penyebarluasan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur
dengan Peraturan Kepala Daerah.
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PEMBATALAN
PERATURAN DAERAH TENTANG
PAJAK DAN RETRIBUSI
Pasal 157
(1) Rancangan
Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui
bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung
sejak tanggal persetujuan dimaksud.
(2) Rancangan
Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah
disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan
disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.
(3) Menteri
Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah
dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan
perundangundangan lain yang lebih tinggi.
(4) Gubernur
melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan
Undang-Undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain
yang lebih tinggi.
(5) Menteri
Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
(6) Hasil
evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau penolakan.
(7) Hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh Menteri Dalam
Negeri kepada gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh gubernur
kepada bupati/walikota untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam
jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan
Peraturan Daerah dimaksud.
(8) Hasil
evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan dengan
disertai alas an penolakan.
(9) Dalam
hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan.
(10) Dalam
hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur,
bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan
kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan
Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk
Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
Pasal 158
(1) Peraturan
Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah ditetapkan.
(2) Dalam
hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan
pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri.
(3) Penyampaian
rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari
kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Berdasarkan
rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam
Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada
Presiden.
(5) Keputusan
pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan
dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Paling
lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah
dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.
(7) Jika
provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan
oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan
kepada Mahkamah Agung.
(8) Jika
keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden
menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(9) Jika
Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan
berlaku.
Pasal 159
(1) Pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 158 ayat (1) dan ayat (6) oleh Daerah dikenakan sanksi berupa penundaan
atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi.
(2) Tata
cara pelaksanaan penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi
Hasil atau restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
BAB IX
PEMUNGUTAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan
Pasal 160
(1) Retribusi
dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Dokumen
lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa karcis,
kupon, dan kartu langganan.
(3) Dalam
hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang
membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
setiap bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
ditagih dengan menggunakan STRD.
(4) Penagihan
Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didahului dengan Surat
Teguran.
(5) Tata
cara pelaksanaan pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Daerah.
Bagian Kedua
Pemanfaatan
Pasal 161
(1) Pemanfaatan
dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai
kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang
bersangkutan.
(2) Ketentuan
mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Bagian Ketiga
Keberatan
Pasal 162
(1) Wajib
Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau
pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan
yang jelas.
(3) Keberatan
harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD
diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keadaan
di luar kekuasaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah suatu keadaan
yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Retribusi.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban
membayar Retribusi dan pelaksanaan penagihan Retribusi.
Pasal 163
(1) Kepala
Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Keberatan
diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan
Surat Keputusan Keberatan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi
Wajib Retribusi, bahwa keberatan yang diajukan harus diberi keputusan oleh
Kepala Daerah.
(3) Keputusan
Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,
menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
(4) Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Daerah
tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 164
(1) Jika
pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran
Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
untuk paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2) Imbalan
bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai
dengan diterbitkannya SKRDLB.
BAB X
PENGEMBALIAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN
Pasal 165
(1) Atas
kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi
dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Kepala Daerah.
(2) Kepala
Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), harus memberikan keputusan.
(3) Kepala
Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak diterimanya
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus memberikan keputusan.
(4) Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui
dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran
Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus
diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(5) Apabila
Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai utang Pajak atau utang Retribusi
lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak
atau utang Retribusi tersebut.
(6) Pengembalian
kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya
SKPDLB atau SKRDLB.
(7) Jika
pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah lewat
2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau
Retribusi.
(8) Tata
cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
BAB XI
KEDALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 166
(1) Hak
untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung
sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Kedaluwarsa
penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan
Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada
pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam
hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa
tersebut.
(4) Pengakuan
utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah
Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum
melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan
utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat
diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan
permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Pasal 167
(1) Hak
untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu
3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib
Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
(2) Kedaluwarsa
penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
a. diterbitkan
Surat Teguran; atau
b. ada
pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak
langsung.
(3) Dalam
hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran
tersebut.
(4) Pengakuan
utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang
Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan
utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran
dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
Pasal 168
(1) Piutang
Pajak dan/atau Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Gubernur
menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak dan/atau Retribusi provinsi yang
sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bupati/walikota
menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak dan/atau Retribusi
kabupaten/kota yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Tata
cara penghapusan piutang Pajak dan/atau Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur
dengan Peraturan Kepala Daerah.
BAB XII
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 169
(1) Wajib
Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
(2) Kriteria
Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau
pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 170
(1) Kepala
Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan daerah dan kewajiban Retribusi dalam rangka melaksanakan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan Retribusi.
(2) Wajib
Pajak atau Wajib Retribusi yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan
dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen
lain yang berhubungan dengan objek Pajak atau objek Retribusi yang terutang;
b. memberikan
kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan
memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan
keterangan yang diperlukan.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dengan
Peraturan Kepala Daerah.
BAB XIII
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 171
(1) Instansi
yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas
dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian
insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Tata
cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 172
(1) Setiap
pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya
untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk
oleh Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
(3) Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat
dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan;
b. Pejabat
dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk memberikan
keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang
melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
(4) Untuk
kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberi izin tertulis kepada
pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari
atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(5) Untuk
kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas
permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata,
Kepala Daerah dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan
dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan
hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau
nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau
perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 173
(1) Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
(2) Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu
di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Wewenang
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima,
mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti,
mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran
perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
c. meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
d. memeriksa
buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan Daerah dan Retribusi;
e. melakukan
penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen
lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta
bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
g. menyuruh
berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau
dokumen yang dibawa;
h. memotret
seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
i. memanggil
orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan
penyidikan; dan/atau
k. melakukan
tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan
hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia,
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 174
(1) Wajib
Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Wajib
Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar
atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan
keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
Pasal 175
Tindak
pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka
waktu 5 (lima)
tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya
Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 176
Wajib
Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan
Daerah diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda
paling banyak 3 (tiga) kali jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pasal 177
(1) Pejabat
atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang karena kealpaannya tidak
memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat
(1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(2) Pejabat
atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang dengan sengaja tidak
memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya
kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3) Penuntutan
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya
dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
(4) Tuntutan
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya
adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib Pajak
atau Wajib Retribusi, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Pasal 178
Denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174, Pasal 176, dan Pasal 177 ayat (1) dan
ayat (2) merupakan penerimaan negara.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 179
Pada
saat undang-undang ini berlaku, Pajak dan Retribusi yang masih terutang
berdasarkan Peraturan Daerah mengenai jenis Pajak Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2), dan Peraturan Daerah tentang Retribusi mengenai jenis
Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1), jenis
Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, dan jenis Retribusi Perizinan
Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, sepanjang tidak diatur dalam
Peraturan Daerah yang bersangkutan masih dapat ditagih selama jangka waktu 5
(lima) tahun terhitung sejak saat terutang.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 180
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
1. Peraturan
Daerah tentang Pajak Daerah mengenai jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) masih tetap berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum
diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang ini;
2. Peraturan
Daerah tentang Retribusi Daerah mengenai jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1), jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 127, dan jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 141, masih tetap berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum diberlakukannya
Peraturan Daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang ini;
3. Peraturan
Daerah Provinsi tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang
ini, sepanjang Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Air Tanah belum diberlakukan
berdasarkan Undang-Undang ini;
4. Peraturan
Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selain sebagaimana dimaksud
pada angka 1, angka 2, dan angka 3 dinyatakan masih tetap berlaku paling lama 1
(satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini;
5. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3569) yang terkait dengan peraturan pelaksanaan mengenai
Perdesaan dan Perkotaan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember
2013, sepanjang belum ada Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang
terkait dengan Perdesaan dan Perkotaan; dan
6. Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3688) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988) tetap berlaku paling lama 1
(satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini.
Pasal 181
Ketentuan
mengenai Pajak Rokok sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2014.
Pasal 182
Pada
saat Undang-Undang ini berlaku:
1. Menteri
Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri mengatur tahapan persiapan
pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah
dalam waktu paling lambat 31 Desember 2013; dan
2. Menteri
Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri mengatur tahapan persiapan
pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagai Pajak Daerah
paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 183
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 184
Peraturan
pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 185
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 15 September 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 September
2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2009 NOMOR 130
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2009
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI
DAERAH
I. UMUM
Dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak
dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat.
Untuk
menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan
kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan
kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan
demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.
Selama
ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur dengan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undang
tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak,
yaitu 4 (empat) jenis Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota.
Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Pajak
lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum untuk kesebelas jenis
Pajak tersebut. Terkait dengan Retribusi, Undang-Undang tersebut hanya mengatur
prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis Retribusi yang dapat dipungut Daerah.
Baik provinsi maupun kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan jenis
Retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Selanjutnya,
peraturan pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan mengenai objek, subjek,
dan dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak tersebut dan menetapkan 27 (dua
puluh tujuh) jenis Retribusi yang dapat dipungut oleh Daerah serta menetapkan
tarif Pajak yang seragam terhadap seluruh jenis Pajak provinsi.
Hasil
penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan yang
relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya
bagi daerah kabupaten dan kota.
Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak
hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh
kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk
mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan
Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan
kebutuhan pengeluaran tersebut.
Dengan
kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang hampir tidak ada jenis pungutan
Pajak dan Retribusi baru yang dapat dipungut oleh Daerah.
Oleh
karena itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh Daerah memberikan
dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan Daerah yang
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat
dan merintangi arus barang dan jasa antardaerah.
Untuk
daerah provinsi, jenis Pajak yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut telah
memberikan sumbangan yang besar terhadap APBD. Namun, karena tidak adanya
kewenangan provinsi dalam penetapan tarif Pajak, provinsi tidak dapat
menyesuaikan penerimaan pajaknya. Dengan demikian, ketergantungan provinsi
terhadap dana alokasi dari pusat masih tetap tinggi. Keadaan tersebut juga
mendorong provinsi untuk mengenakan pungutan Retribusi baru yang bertentangan
dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
Pada
dasarnya kecenderungan Daerah untuk menciptakan berbagai pungutan yang tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan bertentangan dengan
kepentingan umum dapat diatasi oleh Pemerintah dengan melakukan pengawasan
terhadap setiap Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi tersebut.
Undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk membatalkan setiap Peraturan
Daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang dan kepentingan umum. Peraturan
Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja
sejak ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerintah. Dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kerja Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah yang
mengatur Pajak dan Retribusi.
Dalam
kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut tidak dapat
berjalan secara efektif. Banyak Daerah yang tidak menyampaikan Peraturan Daerah
kepada Pemerintah dan beberapa Daerah masih tetap memberlakukan Peraturan
Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan
tersebut karena Undang-Undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah
yang melanggar ketentuan tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat represif.
Peraturan Daerah dapat langsung dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari Pemerintah.
Pengaturan
kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung
pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada
Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan
dan retribusi. Basis pajak kabupaten dan kota
yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif
pajaknya mengakibatkan Daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan pengeluarannya.
Ketergantungan
Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal
kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah.
Pemerintah
Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan
masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak
dibebani dengan Pajak dan Retribusi.
Untuk
meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah
seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi.
Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan
dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah
dalam penetapan tarif.
Perluasan
basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik. Pajak dan
Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor-impor.
Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman
barang dari suatu daerah ke daerah lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor
tidak dapat dijadikan sebagai objek Pajak atau Retribusi. Berdasarkan pertimbangan
tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak
yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak baru.
Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan Bermotor
dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan
Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel,
Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering. Ada 4 (empat) jenis
Pajak baru bagi Daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak
pusat dan Pajak Sarang Burung Walet sebagai Pajak kabupaten/kota serta Pajak
Rokok yang merupakan Pajak baru bagi provinsi.
Selain
perluasan pajak, dalam Undang-Undang ini juga dilakukan perluasan terhadap
beberapa objek Retribusi dan penambahan jenis Retribusi. Retribusi Izin
Gangguan diperluas hingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha
secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban,
keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi
norma keselamatan dan kesehatan kerja. Terdapat 4 (empat) jenis Retribusi baru
bagi Daerah, yaitu Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan
Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin
Usaha Perikanan.
Berkaitan
dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif untuk menghindari penetapan
tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara
berlebihan, Daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam
batas maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Selain itu, untuk
menghindari perang tarif pajak antardaerah untuk objek pajak yang mudah
bergerak, seperti kendaraan bermotor, dalam Undang-Undang ini ditetapkan juga
tarif minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor.
Pengaturan
tarif demikian diperkirakan juga masih memberikan peluang bagi masyarakat untuk
memindahkan kendaraannya ke daerah lain yang beban pajaknya lebih rendah. Oleh
karena itu, dalam Undang-Undang ini Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar
pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih
ditetapkan seragam secara nasional. Namun, sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap
pelayanan yang lebih baik sesuai dengan beban pajak yang ditanggungnya dan
pertimbangan tertentu, Menteri Dalam Negeri dapat menyerahkan kewenangan
penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor kepada Daerah. Selain itu, kebijakan
tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat
kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan Daerah untuk
menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya.
Khusus untuk Pajak Rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok. Tarif Pajak Rokok
ditetapkan secara definitif di dalam Undang-Undang ini, agar Pemerintah dapat
menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok
dengan kebutuhan fiskal nasional dan Daerah melalui penetapan tarif cukai
nasional.
Untuk
meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, dalam Undang-Undang ini sebagian
hasil penerimaan Pajak dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan
dengan Pajak tersebut. Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk
membiayai penerangan jalan, Pajak Kendaraan Bermotor sebagian dialokasikan
untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana
transportasi umum, dan Pajak Rokok sebagian dialokasikan untuk membiayai
pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
Dengan
perluasan basis pajak dan retribusi yang disertai dengan pemberian kewenangan
dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat dipungut oleh Daerah
hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
Untuk
Retribusi, dengan peraturan pemerintah masih dibuka peluang untuk dapat
menambah jenis Retribusi selain yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini
sepanjang memenuhi kriteria yang juga ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Adanya peluang untuk menambah jenis Retribusi dengan peraturan pemerintah juga
dimaksudkan untuk mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari
Pemerintah kepada Daerah yang juga diatur dengan peraturan pemerintah.
Selanjutnya,
untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan Daerah, mekanisme pengawasan
diubah dari represif menjadi preventif.
Setiap
Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebelum dilaksanakan harus
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap
Daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan
dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum
dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.
Dengan
diberlakukannya Undang-Undang ini, kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyesuaikan
pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi
dalam penetapan tarif. Di pihak lain, dengan tidak memberikan kewenangan kepada
Daerah untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru akan memberikan
kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas.
Pasal
2
Cukup
jelas.
Pasal
3
Cukup
jelas.
Pasal
4
Cukup
jelas.
Pasal
5
Cukup
jelas.
Pasal
6
Ayat
(1)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Pajak
progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan menjadi kendaraan
roda kurang dari 4 (empat) dan kendaraan roda 4 (empat) atau lebih.
Contoh:
Orang
pribadi atau badan yang memiliki satu kendaraan bermotor roda 2 (dua), satu
kendaraan roda 3 (tiga), dan satu kendaraan bermotor roda 4 (empat)
masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan
pajak progresif.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
7
Cukup
jelas.
Pasal
8
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan ”keadaan kahar (force majeure)” adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau
kekuasaan Wajib Pajak, misalnya Kendaraan Bermotor tidak dapat digunakan lagi
karena bencana alam.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
9
Cukup
jelas.
Pasal
10
Cukup
jelas.
Pasal
11
Cukup
jelas.
Pasal
12
Cukup
jelas.
Pasal
13
Cukup
jelas.
Pasal
14
Cukup
jelas.
Pasal
15
Cukup
jelas.
Pasal
16
Cukup
jelas.
Pasal
17
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Pemungutan
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh produsen dan/atau importir
atau nama lain sejenis atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada:
1. Lembaga
penyalur, antara lain, Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU), Stasiun
Pengisian Bahan Bakar untuk TNI/POLRI, Agen Premium dan Minyak Solar (APMS),
Premium Solar Packed Dealer (PSPD), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker
(SPBB), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), yang akan menjual BBM kepada
konsumen akhir (konsumen langsung);
2. Konsumen
langsung, yaitu pengguna bahan bakar kendaraan bermotor.
Dalam
hal bahan bakar tersebut digunakan sendiri maka produsen dan/atau importir atau
nama lain sejenis wajib menanggung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang digunakan
sendiri untuk kendaraan bermotornya.
Produsen
dan/atau importir atau nama lain sejenis tidak mengenakan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor atas penjualan bahan bakar minyak untuk usaha industri.
Dalam
hal pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan antarpenyedia Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual kembali kepada lembaga penyalur
dan/atau konsumen langsung, maka yang wajib mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor adalah penyedia yang menyalurkan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor kepada
lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
18
Cukup
jelas.
Pasal
19
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pemberlakuan
ketentuan ini dilakukan dengan memperhatikan kesiapan Daerah untuk membedakan
pengguna bahan baker untuk kendaraan umum dengan kendaraan pribadi.
Ayat
(3)
Penetapan
tarif dan mekanisme penentuan harga Bahan Bakar Kendaraan Bermotor oleh
Pemerintah dilakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, mengingat
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor merupakan barang strategis yang menyangkut hajat
hidup orang banyak.
Kenaikan
harga minyak akan menambah dana bagi hasil yang berasal dari penerimaan sektor
pertambangan minyak bumi dan gas bumi dalam bentuk dana alokasi umum tambahan.
Ayat
(4)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Ketentuan
ini diperlukan untuk menghindari gejolak social akibat adanya kemungkinan
perbedaan harga Bahan Bakar Kendaraan Bermotor antardaerah.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Pasal
20
Cukup
jelas.
Pasal
21
Cukup
jelas.
Pasal
22
Cukup
jelas.
Pasal
23
Cukup
jelas.
Pasal
24
Cukup
jelas.
Pasal
25
Cukup
jelas.
Pasal
26
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan "sigaret" adalah hasil tembakau yang dibuat dari
tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk
dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan
dalam pembuatannya.
Sigaret
terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan.
Sigaret
kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau
bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.
Sigaret
putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih,
kelembak, atau kemenyan.
Sigaret
putih dan sigaret kretek terdiri atas sigaret yang dibuat dengan mesin atau
yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin.
Yang
dimaksud dengan “sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin”
adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai dari
pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan
eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan
mesin.
Yang
dimaksud dengan “sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain
daripada mesin” adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam proses
pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam
kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan
mesin.
Sigaret
kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan
kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.
Yang
dimaksud dengan “cerutu” adalah hasil tembakau yang dibuat dari
lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung
demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan
pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Yang
dimaksud dengan “rokok daun” adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun
nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk
dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
27
Cukup
jelas.
Pasal
28
Yang
dimaksud dengan “cukai” adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap hasil
tembakau berupa sigaret, cerutu, dan rokok daun sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang cukai, yang dapat berupa persentase dari harga
dasar (advalorum) atau jumlah dalam rupiah
untuk setiap batang rokok (spesifik) atau penggabungan dari keduanya.
Contoh:
Tarif
cukai spesifik : Rp200/batang Tarif advalorum : 40% dari Harga Jual Eceran (HJE) yang ditetapkan
Pemerintah.
Jika
Pemerintah hanya mengenakan tarif spesifik, dasar pengenaan pajak adalah
Rp200/batang.
Jika
Pemerintah hanya mengenakan tarif advalorum, dasar pengenaan pajak adalah 40% x HJE.
Jika
Pemerintah mengenakan tarif spesifik dan advalorum, dasar pengenaan pajak adalah (Rp200/batang + 40%
HJE).
Pasal
29
Pada
saat diberlakukannya ketentuan mengenai Pajak Rokok, pengenaan Pajak Rokok
sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok diperhitungkan dalam penetapan
tarif cukai nasional. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keseimbangan antara
beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal
nasional dan Daerah
Contoh:
Dalam
tahun 2011 penerimaan cukai nasional sebesar 100, dan diproyeksikan meningkat
10% setiap tahunnya sesuai dengan peta jalur industri rokok nasional. Tanpa
adanya pengenaan Pajak Rokok oleh Daerah, penerimaan cukai nasional tahun 2012
menjadi 110, kemudian meningkat menjadi 121 di tahun 2013.
Pada
tahun 2014, saat mulai diberlakukannya Pajak Rokok, penerimaan cukai nasional
diproyeksikan sebesar 133, yang terdiri dari 121 sebagai penerimaan cukai
Pemerintah dan 12 sebagai Pajak Rokok untuk Daerah. Pola ini berlanjut untuk
tahun 2015 dan seterusnya.
Ilustrasi
dalam bentuk tabel dapat dilihat berikut ini: Tahun 2011 2012 2013 2014 2015

Pasal
30
Cukup
jelas.
Pasal
31
Pelayanan
kesehatan masyarakat, antara lain, pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang
memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan
layanan masyarakat mengenai bahaya merokok.
Penegakan
hukum sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah yang dapat dikerjasamakan
dengan pihak/instansi lain, antara lain, pemberantasan peredaran rokok ilegal
dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
Pasal
32
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Pengecualian
apartemen, kondominium, dan sejenisnya didasarkan atas izin usahanya.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Pasal
33
Cukup
jelas.
Pasal
34
Cukup
jelas.
Pasal
35
Cukup
jelas.
Pasal
36
Cukup
jelas.
Pasal
37
Cukup
jelas.
Pasal
38
Cukup
jelas.
Pasal
39
Cukup
jelas.
Pasal
40
Cukup
jelas.
Pasal
41
Cukup
jelas.
Pasal
42
Cukup
jelas.
Pasal
43
Cukup
jelas.
Pasal
44
Cukup
jelas.
Pasal
45
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan “hiburan berupa kesenian rakyat/tradisional” adalah hiburan
kesenian rakyat/tradisional yang dipandang perlu untuk dilestarikan dan
diselenggarakan di tempat yang dapat dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
46
Cukup
jelas.
Pasal
47
Cukup
jelas.
Pasal
48
Cukup
jelas.
Pasal
49
Cukup
jelas.
Pasal
50
Cukup
jelas.
Pasal
51
Cukup
jelas.
Pasal
52
Cukup
jelas.
Pasal
53
Cukup
jelas.
Pasal
54
Cukup
jelas.
Pasal
55
Cukup
jelas.
Pasal
56
Cukup
jelas.
Pasal
57
Cukup
jelas.
Pasal
58
Cukup
jelas.
Pasal
59
Cukup
jelas.
Pasal
60
Cukup
jelas.
Pasal
61
Cukup
jelas.
Pasal
62
Cukup
jelas.
Pasal
63
Cukup
jelas.
Pasal
64
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Sewa/tarif
parkir sebagai dasar pengenaan Pajak Parkir yang dikelola secara monopoli dapat
diatur dengan Peraturan Daerah.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
65
Cukup
jelas.
Pasal
66
Cukup
jelas.
Pasal
67
Cukup
jelas.
Pasal
68
Cukup
jelas.
Pasal
69
Cukup
jelas.
Pasal
70
Cukup
jelas.
Pasal
71
Cukup
jelas.
Pasal
72
Cukup
jelas.
Pasal
73
Cukup
jelas.
Pasal
74
Cukup
jelas.
Pasal
75
Cukup
jelas.
Pasal
76
Cukup
jelas.
Pasal
77
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan ”kawasan” adalah semua tanah dan bangunan yang digunakan oleh
perusahaan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberi hak
guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang
menjadi wilayah usaha pertambangan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan ”tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa
objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyatanyata tidak
ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam
bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut.
Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
78
Cukup
jelas.
Pasal
79
Ayat
(1)
Penetapan
NJOP dapat dilakukan dengan:
a. perbandingan
harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan
nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak
lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah
diketahui harga jualnya.
b. nilai
perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan
berdasarkan kondisi pisik objek tersebut.
c. nilai
jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Ayat
(2)
Pada
dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali.
Untuk
Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang
cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
80
Cukup
jelas.
Pasal
81
Nilai
jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu
dengan Nilai Jual Tidak Kena Pajak sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah).
Contoh:
Wajib
pajak A mempunyai objek pajak berupa:
- Tanah seluas 800 m2 dengan
harga jual Rp300.000,00/m2;
- Bangunan seluas 400 m2 dengan
nilai jual Rp350.000,00/m2;
- Taman seluas 200 m2 dengan nilai
jual Rp50.000,00/m2;
- Pagar sepanjang 120 m dan
tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp175.000,00/m2.
Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai
berikut:
1. NJOP
Bumi: 800 x Rp300.000,00 = Rp240.000.000,00
2. NJOP
Bangunan
a. Rumah dan
garasi
400 x Rp350.000,00 = Rp140.000.000,00
b. Taman
200 x Rp50.000,00 =
Rp 10.000.000,00
c. Pagar
(120 x 1,5) x Rp175.000,00 = Rp 31.500.000,00 +
Total NJOP Bangunan Rp181.500.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp
10.000.000,00 -
Nilai Jual bangunan Kena Pajak = Rp171.500.000,00 +
3. Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak =
Rp411.500.000,00
4. Tarif
pajak efektif yang ditetapkan dalam
Peraturan
Daerah 0,2%.
5. PBB terutang: 0,2% x Rp411.500.000,00 = Rp 823.000,00
Pasal
82
Cukup
jelas.
Pasal
83
Cukup
jelas.
Pasal
84
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Penetapan
SKPD ini hanya untuk Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
Pasal
85
Cukup
jelas.
Pasal
86
Cukup
jelas.
Pasal
87
Cukup
jelas.
Pasal
88
Cukup
jelas.
Pasal
89
Contoh:
Wajib
Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan
Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp.65.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp.60.000.000,00 (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp. 5.000.000,00
Pajak Yang Terutang = 5% x Rp5.000.000,00 = Rp. 250.000,00
Pasal
90
Cukup
jelas.
Pasal
91
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “risalah lelang” adalah kutipan risalah lelang yang
ditandatangani oleh Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
92
Cukup
jelas.
Pasal
93
Cukup
jelas.
Pasal
94
Cukup
jelas.
Pasal
95
Cukup
jelas.
Pasal
96
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Ketentuan
ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh Kepala Daerah
atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
Cara
pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh
Kepala Daerah melalui SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
Cara
kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan
kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Wajib
Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan
melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.
Jika
Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
mestinya, dapat diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang menjadi sarana
penagihan.
Pasal
97
Ketentuan
ini mengatur penerbitan surat
ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib
Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPTPD atau
karena ditemukannya data fiskal tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat
(1)
Ketentuan
ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB,
SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu, dengan perkataan lain
hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil
pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material.
Contoh:
1. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2009.
Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum menyampaikan SPTPD, maka
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang.
2. Seorang Wajib Pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2009. Dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar. Atas
pajak yang terutang yang kurang bayar tersebut, Kepala Daerah dapat menerbitkan
SKPDKB ditambah dengan sanksi administratif.
3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah diterbitkan
SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sesudah pajak
yang terutang ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap
yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, Kepala Daerah dapat
menerbitkan SKPDKBT.
4. Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kepala Daerah ternyata
jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan
SKPDN.
Huruf
a
Angka
1)
Cukup
jelas.
Angka
2)
Cukup
jelas.
Angka
3)
Yang
dimaksud dengan ”penetapan pajak secara jabatan” adalah penetapan besarnya
pajak terutang yang dilakukan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan
data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Kepala Daerah atau
Pejabat yang ditunjuk.
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Ketentuan
ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban
perpajakannya yaitu mengenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau
terlambat dibayar. Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat
terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.
Ayat
(3)
Dalam
hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan/atau data yang
semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang
terutang bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif
berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi
administratif ini tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum
diadakan tindakan pemeriksaan.
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Dalam
hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi SPTPD yang
seharusnya dilakukannya, dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pajak
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang.
Dalam
kasus ini, Kepala Daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui
penerbitan SKPDKB.
Selain
sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari
pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Sanksi
administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan
diterbitkannya SKPDKB.
Pasal
98
Cukup
jelas.
Pasal
99
Cukup
jelas.
Pasal
100
Cukup
jelas.
Pasal
101
Cukup
jelas.
Pasal
102
Cukup
jelas.
Pasal
103
Cukup
jelas.
Pasal
104
Cukup
jelas.
Pasal
105
Cukup
jelas.
Pasal
106
Cukup
jelas.
Pasal
107
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Yang
dimaksud dengan ”kondisi tertentu objek pajak”, antara lain, lahan pertanian
yang sangat terbatas, bangunan ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki
oleh golongan Wajib Pajak tertentu.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
108
Cukup
jelas.
Pasal
109
Cukup
jelas.
Pasal
110
Cukup
jelas.
Pasal
111
Cukup
jelas.
Pasal
112
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “tempat umum lainnya” adalah tempat yang dapat digunakan oleh
masyarakat umum dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Pasal
113
Cukup
jelas.
Pasal
114
Cukup
jelas.
Pasal
115
Cukup
jelas.
Pasal
116
Cukup
jelas.
Pasal
117
Cukup
jelas.
Pasal
118
Cukup
jelas.
Pasal
119
Yang
dimaksud dengan “peta” adalah peta yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, seperti
peta dasar (garis), peta foto, peta digital, peta tematik, dan peta teknis
(struktur).
Pasal
120
Cukup
jelas.
Pasal
121
Cukup
jelas.
Pasal
122
Cukup
jelas.
Pasal
123
Cukup
jelas.
Pasal
124
Mengingat
tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian
sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan
paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan
sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya
retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara
telekomunikasi tersebut.
Pasal
125
Cukup
jelas.
Pasal
126
Cukup
jelas.
Pasal
127
Cukup
jelas.
Pasal
128
Ayat
(1)
Pemakaian
kekayaan Daerah, antara lain, penyewaan tanah dan bangunan, laboratorium,
ruangan, dan kendaraan bermotor.
Ayat
(2)
Penggunaan
tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah, antara lain, pemancangan tiang
listrik/telepon atau penanaman/pembentangan kabel listrik/telepon di tepi jalan
umum.
Pasal
129
Cukup
jelas.
Pasal
130
Cukup
jelas.
Pasal
131
Cukup
jelas.
Pasal
132
Cukup
jelas.
Pasal
133
Cukup
jelas.
Pasal
134
Cukup
jelas.
Pasal
135
Cukup
jelas.
Pasal
136
Cukup
jelas.
Pasal 137
Cukup
jelas.
Pasal
138
Ayat
(1)
Hasil
produksi usaha Pemerintah Daerah, antara lain, bibit atau benih tanaman, bibit
ternak, dan bibit atau benih ikan.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup
jelas.
Pasal 140
Cukup
jelas.
Pasal 141
Cukup
jelas.
Pasal 142
Cukup
jelas.
Pasal 143
Cukup
jelas.
Pasal
144
Ayat
(1)
Mengingat
tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian
sulit ditentukan, tarif retribusi dapat ditetapkan berdasarkan persentase
tertentu dari nilai investasi usaha di luar tanah dan bangunan, atau penjualan
kotor, atau biaya operasional, yang nilainya dikaitkan dengan frekuensi pengawasan
dan pengendalian usaha/kegiatan tersebut.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
145
Cukup
jelas.
Pasal
146
Cukup
jelas.
Pasal
147
Cukup
jelas.
Pasal
148
Cukup
jelas.
Pasal
149
Cukup
jelas.
Pasal
150
Cukup
jelas.
Pasal 151
Cukup
jelas.
Pasal
152
Cukup
jelas.
Pasal
153
Cukup
jelas
Pasal
154
Cukup
jelas
Pasal
155
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Dalam
hal besarnya tarif retribusi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah perlu
disesuaikan karena biaya penyediaan layanan cukup besar dan/atau besarnya tarif
tidak efektif lagi untuk mengendalikan permintaan layanan tersebut, Kepala Daerah
dapat menyesuaikan tarif retribusi.
Pasal
156
Cukup
jelas.
Pasal
157
Ayat
(1)
Penyampaian
Rancangan Peraturan Daerah kepada Menteri Keuangan dimaksudkan dalam rangka
mempermudah dan mempercepat proses koordinasi.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Cukup
jelas.
Ayat
(8)
Cukup
jelas.
Ayat
(9)
Cukup
jelas.
Ayat
(10)
Cukup
jelas.
Pasal
158
Cukup
jelas.
Pasal
159
Cukup
jelas.
Pasal
160
Cukup
jelas.
Pasal
161
Cukup
jelas.
Pasal
162
Cukup
jelas.
Pasal
163
Cukup
jelas.
Pasal
164
Cukup
jelas.
Pasal
165
Cukup
jelas.
Pasal
166
Cukup
jelas.
Pasal
167
Cukup
jelas.
Pasal
168
Cukup
jelas.
Pasal
169
Cukup
jelas.
Pasal
170
Cukup
jelas.
Pasal
171
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “instansi yang melaksanakan pemungutan” adalah
dinas/badan/lembaga yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan
Pajak dan Retribusi.
Ayat
(2)
Pemberian
besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang membidangi
masalah keuangan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
172
Cukup
jelas.
Pasal
173
Cukup
jelas.
Pasal
174
Cukup
jelas.
Pasal
175
Cukup
jelas.
Pasal
176
Cukup
jelas.
Pasal
177
Ayat
(1)
Pengenaan
pidana kurungan dan pidana denda kepada pejabat tenaga ahli yang ditunjuk oleh
Kepala Daerah dimaksudkan untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan
daerah tidak akan diberitahukan kepada pihak lain, juga agar Wajib Pajak dalam
memberikan data dan keterangan kepada pejabat mengenai perpajakan daerah tidak
ragu-ragu.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
178
Cukup
jelas.
Pasal
179
Cukup
jelas.
Pasal
180
Cukup
jelas.
Pasal
181
Cukup
jelas.
Pasal
182
Cukup
jelas.
Pasal
183
Cukup
jelas.
Pasal
184
Cukup
jelas.
Pasal
185
Cukup
jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5049
No comments:
Post a Comment